Tak terbayang sebelumnya bisa bangun paling awal di posko
KKN bu kades, biasanya aku bangun ditengah-tengah., nggak di awal dan di akhir. Pukul 4.30 WIB ketika semua orang terlelap
aku menaiki tangga menuju kamar mandi atas. Pertama kali yang ku igat yaitu
jemuran di kamar mandi, bergegas aku mencuci dan membilas semua pakaianku dan
ketika selesai langsung mandi. Seger juga ternyata pikirku.
Langit masih gelap ketika salah satu temanku yang biasanya bangun
paling pagi, tapi hari ini ia menyambutku dengan senyuman sinis, “ Tumben
bangun pagi,” katanya dengan mata yang mash setegah terbuka (baca: sipit).
Dengan senyum simpul aku melenggang saja di depan mukanya tanpa menghiraukan
ocehannya. Sudah biasa seperti itu dan bukan sesuatu yang asing bagiku. Entah
kenapa aku merasa ia selalu sinis setiap kegiatan yang ku lakukan.
Matahari perlahan muncul, sinar emasnya semakin merekah bersamaan
dengan senyum penguhni posko KKN. Semua
penghuni posko mulai menampakkan batang hidungnya. Seperti biasanya antrean
mandi selalu meributkan posko di pagi hari.
“Aku nomor satu” kata Ayu. Perempuan keturunan China ini
selalu bangun pagi dengan mata yang sembab. Habis nangis pikirku. Beberapa hari
ini Ayu sedang galau gegara ditinggal jauh mamah dan pacarnya. Selanjutnya yang
lain menyusul sampai angka tujuh. Begitu seterusnya setiap pagi maupun sore.
Sinar matahari semakin menyengat, akhirnya aku berpindah
dari balkon ke kasur ruang tamu. Sembari tiduran aku melanjutkan tidurku yang
kurang. Maklum malam sebelumnya aku kurang tidur, terlalu memikirkan proker KKN
mungkin. Bagiku fokus utama adalah berjalannya proker, tapi beberapa kali aku
dikritik sama teman-teman agar jaga badan jangan mikirin proker mulu.
Perlahan mataku mulai turun pertanda ngantuk. Belum lama setelah
tidur, datang teman-teman cowok kelompok A membangunkanku.
“Ahh, maleesss,” sambil mengucek-ucek mata aku mulai menata
badang agar tetap segar.
“Mau jam berapa masang plang mbah?” sms masuk dari Ghanis. Bergegas
aku, fajar dan akel meninggalkan posko menuju tempat pemasangan plang penunjuk
jalan.
Selesai memasang plang kami melanjutkan memasang nama ilmiah
tumbuhan di rumah salah satu warga RW 9. Masih segar semua tanamannya, mungkin
gegara lomba jadi sering di siram pikirku. Ahh, mungkin segala sesuatu yang
berbau seremonial ketika akan dinilai pasti rajin. Baik siswa, mahasiswamaupun
masyarakat hanya rajin kalau mau ada lomba saja. Setelah itu bisa jadi langsung
ditelantarkan.
“Bakso yuuh,” kata Fajar.
“Yuh, gepe el,” kataku, perutku dari pagi memang hanya diisi
sedikit sarapan saja. Satu mangkok bakso
cukup membuat perutku kenyang, setidaknya sampai siang.
“Mbah, buruan ini ibu PKK sudah nungguin di balai
pertemuan,kita disuruh kesan segera,”
‘”Yaelahmau ngapain si sov, kta nggak berkepentingan disana,
ngapain kesana”
“Dari tadi sudah ditelponin mbah, buruan anak-anak dipanggil
buat kesana”.
“iya sov, siip,”.
Setibanya di posko aku segera ke
atas memanggil anak-anak untuk ke balai pertemuan RW 6. Hening tanpa suara.
“ ada orang???”
“ ada orang???
Tiga kali aku memanggil tapi tanpa
tanggapan, dengan muka asem Erna membuka pintu kamar.
“ada apa mbah?” kata Erna
“Disuruh ke balai pertemuan, segera!
Kita udah di tunggu”
“Lah masih ngantuk”
Kapan kamu nggak ngantuk na?
Tanyaku.
“buruan gih siap-siap. Setengah jam
lebih aku menunggu di bawah. Tiba-tiba fajar nyeletuk.
“Ngapain sih kita kesana, gaje
banget perangkat desanya, kita kan cuman KKN mereka yang ngikut lomba, kenapa
kita harus kesana juga”. Ketusnya
Aku hanya bisa menanggapi dengan
senyum saja, karena memang aku tidak mengikuti prosesnya dari awal pertemuan. Entahlah
aku juga tidak terlalu bersemangat mengikuti kegiatan lomba warga desa. Ini
semua dilakukan mungkin hanya demi terjalinnya hubungan baik antara mahasiswa
dan perangkat desa. Hanya itu yang aku pikirkan tak lebih tak kurang. Memang
benar mahasiswa tidak seharusnya menuruti semua kemauan warga melainkan sebagai
motivator, fasilitator, innovator di desa gar desanya bisa berkembang. Tapi ada satu hal yang mungkin tidak bisa
dipungkiri bahwa warga desa belum sepenuhnya memahami fungsi kehadiran
mahasiswa KKN tersebut. Perlu ada pendekatan secara kulturan dengan komunikasi
yang intensif tidak bisa kita sampaikan di depan secara langsung karena bisa
saja muncul spekulasi yang tidak diinginkan sehingga dapat menghambat jalannya
proker KKN.
Tak mudah untuk merebut hati warga
desa, pengalamanku di desa memang harus melalui pendekatan sangat intens dan
bisa dikatakan sering menimba ilmu
kepada warga desa yang sudah berpengalaman. Komunikasinya dua arah dengan
menempatkan warga sebagai objek yang berpengalaman dengan kehidupan di desa dan
mahasiswa sebagai orang asing yang perlu memposisikan diri dengan baik serta
menjaga aturan, norma serta sopan santun di desa. Sembari komunikasi dengan
pihak desa sembari disisipkan maksud dan tujuan kehadiran mahasiswa KKN.
Sesampainya di balai, tim penilai
sudah berada di tempat dan sedang melakukan penilaian. Kami hanya bisa
menyaksikan dari depan balai sembari berharap apa yang sudah kita persiapkan
tempo hari bisa menghasilkan sesuatu yang baik.
***
Malamnya aku tertidur lebih
cepat. Saat semua temanku sedang sibuk di atas membereskan persiapan untuk
pembeuatan celengan aku turun ke bawah ke kamar mendengarkan musik, beberapa menit
kemudian aku langsung tertidur. Pukul 9 malem aku kembali bangun dengan muka
lesu, segera saja aku naik ke atas dan langsun disuguhkan pemandangan kertas
karton berserakan.
Beberapa saat kemudian fajar,
akell dan ayu datang dari bawah.
“Kalian dari mana?” tanyaku.
“Dari warung beli hadiah.” Dengan
wajah lelah Ayu menyodorkan tiga macam hadiah yang sudah ia beli di warung
kelontong. Disebutkannya satu per satu harga masing-masing hadiah untuk
masing-masing juara. Ketika sampai juara satu Ayu berhenti sejenak untuk
berpikir.
“Kardus bungkus hadiahnya
bagaimana?” kata Ayu dengan wajah bingung
“kardus chacha yang kemaren
dimana ya?” dengan muka penuh tanya Rova mengatakan hal itu. Serentak
teman-temanu menjawab kardusnya sudah ada di tong sampah.
“Yaudah beli lagi sana,” kataku.
“Yahh, males keluar lagi,” kata
Ayu.
“sini aku yng beliin, ada uang
nggak?” tanyaku. Lama berdebat akhirnya aku berangkat ke warung untuk membeli
beberapa perlengkapan dan snack untuk teman-temanku.
***
“Mbah jangan semua karton dibuang,
masih dipake buat ngehias kata Ifa” sontak aku kaget dengan suara besar yang
memanggilku. Setelah ku cari suara tersebut, ternyata asalnya dari pagar
balkon. Lelaki berjambang dengan muka putih memakai kaos hitam dengan celana
pendek itu tengah duduk santai.
Sama sekali tak terduga, setahu
aku Fajar sudah turun ke bawah. Tapi kenapa muncul lagi di atas. Yaudah segera
saja kartonnya aku kembaliin karton yang akan ku buang.
Selesai mengembalikan karton ke
dalam ruangan aku langsung turun untuk melanjutkan tidur.
“Jar, tadi kamu ke atas lagi ya?”
tanyaku penuh harap sesampainya di kamar.
“Enggak mbah, dari tadi aku
disini sama Akell”.
“Jadi, barusan yang ngajak
ngobrol aku di atas siapa jar?”
“Nggak tahu mbah, gila kamu ya ngobrol
sendiri”
“Sumpah demi apapun, aku lihat
kamu duduk di pagar balkon”. Seluruh badan mendadak merinding. Ingatanku
kembali berputar tentang cerita tempo hari.
Sehari sebelumnya aku mendengar
Erna ketakutan di kamarnya karena jendela kamar membuka sendiri. Tak ada angin,
tak ada orang lewat, bahkan semaleman ia tak bisa tidur gegara kejadian itu.
“Mbah kemaren malem aku dengar suara
orang tertawa sendiri di kamar lho.” Kata Putri
“Yang bener put, jangan
nakut-nakutin lah.”
“Iya mbah.”
Aku mulai berpikir, melihat
keadaan keluarga bu kades. Dia hanya mempunyai tiga anak. Anak kedua bu kades
tinggal di Bogor dan anak bungsunya sedang menempuh kuliah di salahsatu
universitas di ibukota.
Rumah ini sudah lama ditinggal
sama penghuninya terutama lantai atas pikirku. Mungkin hanya beberapa hari saja
rumah ini ramai, selanjutnya sepi. Hanya ada ibu, bapak, mas dan ratu yang
menempati ruang bawah. Ruang atas terbiasa kosong. Ah sudahlah kejadian ini
membuatku semakin yakin kalau ada makhluk lain yang tak berwujud di sekitar
kita.
Sekian duluuu.
0 komentar:
Posting Komentar