Ketika kepingan kenangan masa lalu tertumbuk kembali, aku
mulai sadar bahwa aku tak sepenuhnya melupakanmu.
Malam itu aku menyapamu dari seberang jalan. Aku mendekat, perlahan
ku tatap wajahmu, masih sama seperti yang dulu. Bedanya kamu tampak lebih
matang dengan gaun dan make up bak putri kerajaan. Bertahun-tahun aku menanti
keadaan seperti ini.
“Yuk mas, jalan,” pintamu lembut. Ku anggukkan kepala lalu segera
kuraih kunci motor yang kau berikan sejurus kemudian menyusuri jalanan kota
istimewa. Diam, sepi dan absurd. Aku tak yakin betul bahwa aku mampu berbincang
kembali di hadapanmu. Terakhir kali aku bertemu denganmu sepatah kata pun tak
mampu keluar dari mulutku. Aku terlalu malu untuk mengakui bahwa aku begitu
pengecut di hadapanmu.
Ramainya jalanan akhirnya mampu memecah kebekuan antara kamu
dan aku. Tepat di perempatan lalu lintahs jalan Godean aku memberanikan diri
bertanya, “Dek, kita mau kemana?” tanyaku. “Terserah deh, katanya pingin
nonton.”
“Hayuk, kamu yang tunjukin ya jalannya.”
“Siap pak!” jawabanmu kali ini membuatku nyaman untuk
memecah kebekuan yang selama ini menumpuk. Tak butuh waktu lama untuk
membiasakan diri bertanya tentang kisah asmaramu, kesibukanmu dan hal-hal
lainnya.
Ternyata kamu tak beda dengan yang dulu. Malam itu aku dan
kamu kembali bercanda, saling tatap mata, tertawa dan sesekali berdebat hal-hal
yang tidak perlu. Satu hal yang bahkan aku tak tahu dari dulu sampai sekarang,
kenapa kita selalu berbeda sudut pandang dalam melihat permasalahan. Kamu dan
aku tak pernah berada dalam satu jalan yang sama, aku hanya bisa melihat bayangmu
ada di setiap impianku.
Entah jenis rasa apa yang kamu miliki, tapi aku ingin kamu
tahu bahwa ternyata di dasar ingatanku bayangmu masih melekat. Seperti pesan
film yang kita tonton malam itu” Kenangan bukanlah sampah yang harus dibuang,
kenangan adalah sejarah yang harus kita rawat.” Selamat malam kenangan, bersamamu
aku belajar akan arti masa lalu.
0 komentar:
Posting Komentar