Deru mobil di pagi buta dan deburan ombak telaga bagaikan
alarm yang tak henti-hentinya berdering membangunkan kami. Warung-warung
disekitar sudah tampak dijejali pendaki yang beristirahat sejenak sembari
mengisi perut dan menghangatkan badan . Padahal jarum jam baru menunjukkan
angka 3, tapi bak pasar dadakan, suasana menjadi ramai. Dinginnya pagi membuat
nyaliku ciut dan hampir saja berniat menunda pendakian.
Tapi cerita keindahan puncak Sikunir menghilangkan semuanya.
Seperti setiap subuh di atas ketinggian, kita disuguhi belaian lembut awan yang
mengusap wajah ngantuk kami. Nafas berasap pun menjadi sensasi tersendiri. Dengan
jaket tebal iring-iringan rombongan bersiap menyambut datangnya surya.
Angin dingin yang terus berhembus tak kami hiraukan. Begitu juga dengan rintikan
air yang sedari sore menetes tak kami gubris. Semua larut dalam semangat menuju
satu tujuan, puncak Sikunir.
Kondisi saat itu tergolong berbahaya, angin berhembus sangat
kencang. Pohon disekitar tenda pun tak kuat menahan terjangan angin. Malam itu
angin menumbangkan satu pohon didekat tenda kami. Untungnya tidak menimpa tenda
kami.
Perjalanan pagi itu akhirnya kami mulai dengan berhitung
jumlah anggota. Seperti baris-berbaris pikirku.
Setelah selesai berhitung, kami melangkahkan kaki ke atas. Jalanan naik berbatu
harus kami taklukkan. Bau menyengat tiba-tiba menyergap hidung kami. Seperti bau
asam agak busuk. Setelah menyorotkan senter ke arah kanan kami dan terlihat
gundukan pupuk kandang yang dilapisi sekam.
Apapun aral yang melintang kami bertekad untuk mencapai
puncak Sikunir. Siapa yang tak iri menikmati indahnya golden sunrise dan tentu saja mengibarkan bendera Agrica bisa jadi
moment terindah kebersamaan kami. Tak ketinggalan rombongan muda-mudi asal
Yogyakarta meramaikan perjalanan kami.
Jalanan menanjak berjejer jurang tak membuat kami gentar. Yang
aku takutkan justru jika tiba-tiba anjing gila melintas dari depanku atau dari
sisi manapun. Ingatanku jauh menerobos lebatnya hutan ke masa lalu. Waktu itu
ketika hendak menikmati ramainya pasar malam aku dihadapkan anjing di depanku
persis. Awalnya tak takut sama sekali, dengan santai aku melangkahkan kaki
kecilku. Ketika sampai disamping anjing tersebut tiba-tiba saja
“Guk,guk!,” anjing tersebut
menggigit celanaku, reflek aku langsung melompat dan lari sejauh mungkin
agar tidak menjadi sasaran gigitan hewan omnivora tersebut. Sejak kejadian itu
phobiaku sama anjing muncul.
“Berhenti! Istirahat
dulu,” teriak salah seorang dari
belakang, saat itu aku berada didepan sebagai pemimpin jalan.
Saat beristirahat tiba-tiba datang seseorang berselimut sarung, tak begitu jelas wajahnya.
Orang tersebut nampak membawa senter dan beberapa alat yang dibungkus
diplastik. Ia berhenti tepat didepanku dan berkata, “Mas, nanti kalau didepan
ketemu pertigaan ambil arah kiri saja ya?” ujarnya.
“Kenapa pak?” jawabku, “Kalau ke arah kanan itu ke puncak
mas, lagi badai diatas, mending kekiri aja biar aman,” jawabnya.
Setelah beberapa menit istirahat, kami beranjak dan bergegas
melanjutkan. Sesampainya dipertigaan kami tak mengikuti anjuran orang tadi dan
memilih jalur kanan, karena sejak awal tujuan kami ke puncak Sikunir. Tak peduli
badai tak peduli hujan, kami harus sampai ke puncak.
Gundukan tanah dan deretan kayu didepan kami membuat semakin
bersemangat. Yess, akhirnya sampai puncak batinku sumringah. Kendati tak sepenuhnya
yakin. Tapi lega rasanya, akhirnya 2350 mdpl berhasil kami taklukkan. Langit masih
gelap dan telur emas masih belum siap menyambut kami. Mungkin saja masih
bersiap-siap pikirku. Angin kencang dan kabut tebal menyelimuti kami, perasaan
haru tak bisa kami tahan. Selang beberapa saat, rombongan kami sampai juga.
“Mas ini puncaknya?” celetuk salah seorang dari kami kepada
rombongan dari Jogja.
“Bukan kayaknya, soalnya sepi gini sih,” Jawabnya santai.
Kulihat ke arah samping kiri, sorot senter dari ketinggian
nampak memberi aba-aba kalau ditempat yang kami berdiri bukanlah puncak. Segera
kami bergegas balik arah ke pertigaan tadi. Kami mengambil arah kiri dan
melanjutkan perjalanan ke puncak sebenarnya.
Dalam suasana remang kami terus melangkah melewati jalan
setapak. Samar-samar kerangka bekas rumah dan cahaya senter kian dekat. Sejurus
kemudian tampak bongkahan batang kelapa yang berjejer menjadi saksi ketika kita
sampai di puncak desa tertinggi di Jawa. Puncak yang terkenal dengan julukan the golden sunrise. Di puncak inilah
kita dapat menyaksikan sang surya mulai menyapa bumi dengan cahaya keemasannya.
Sudah terbayang dalam benakku, di sisi kiri akan nampak gunung
Sindoro dengan gagahnya dan didepanku juga akan nampak gunung Slamet, gunung
tertinggi di Jawa Tengah itu pasti nampak kecil dari puncak sini. Di sebelah
gunung Sindoro inilah akan nampak cahaya keemasan sang surya yang siap
menerangi dunia. Disinilah puncak sebenarnya dari bukit Sikunir. Perasaan Senang,
sedih, haru, sahabat, cinta akhirnya lebur dalam teriakan di ketinggian 2350 mdpl. Perjalanan selama 1,5 jam tak sia-sia.
Iki lho puncak Sikunir |
Sayang hari itu cuaca tak bersahabat. Badai sejak sore belum
juga reda,angin kencang sempat membuat beberapa orang serasa akan terbang. Jika
angin besar datang beberapa orang berpegangan tak kuasa menahannya. Kami hanya
sempat berfoto bersama dan menahan kencangnya angin pagi itu.
this is me |
Terimakasih Ibu, Bapak, Keluarga, Agrica.
Sikunir, 15 Januari 2014,
0 komentar:
Posting Komentar