image1 image2 image3

WELCOME TO MY PERSONAL BLOG|I LOVE TO DO CREATIVE THINGS|I'M A DREAMER

PUNCAK SEBENARNYA


Deru mobil di pagi buta dan deburan ombak telaga bagaikan alarm yang tak henti-hentinya berdering membangunkan kami. Warung-warung disekitar sudah tampak dijejali pendaki yang beristirahat sejenak sembari mengisi perut dan menghangatkan badan . Padahal jarum jam baru menunjukkan angka 3, tapi bak pasar dadakan, suasana menjadi ramai. Dinginnya pagi membuat nyaliku ciut dan hampir saja berniat menunda pendakian.

Tapi cerita keindahan puncak Sikunir menghilangkan semuanya. Seperti setiap subuh di atas ketinggian, kita disuguhi belaian lembut awan yang mengusap wajah ngantuk kami. Nafas berasap pun menjadi sensasi tersendiri. Dengan jaket tebal iring-iringan rombongan bersiap menyambut datangnya surya.

Angin dingin yang terus berhembus  tak kami hiraukan. Begitu juga dengan rintikan air yang sedari sore menetes tak kami gubris. Semua larut dalam semangat menuju satu tujuan, puncak Sikunir.

Kondisi saat itu tergolong berbahaya, angin berhembus sangat kencang. Pohon disekitar tenda pun tak kuat menahan terjangan angin. Malam itu angin menumbangkan satu pohon didekat tenda kami. Untungnya tidak menimpa tenda kami.

Perjalanan pagi itu akhirnya kami mulai dengan berhitung jumlah anggota. Seperti  baris-berbaris pikirku. Setelah selesai berhitung, kami melangkahkan kaki ke atas. Jalanan naik berbatu harus kami taklukkan. Bau menyengat  tiba-tiba menyergap hidung kami. Seperti bau asam agak busuk. Setelah menyorotkan senter ke arah kanan kami dan terlihat gundukan pupuk kandang yang dilapisi sekam.

Apapun aral yang melintang kami bertekad untuk mencapai puncak Sikunir. Siapa yang tak iri menikmati indahnya golden sunrise dan tentu saja mengibarkan bendera Agrica bisa jadi moment terindah kebersamaan kami. Tak ketinggalan rombongan muda-mudi asal Yogyakarta meramaikan perjalanan kami.

Jalanan menanjak berjejer jurang tak membuat kami gentar. Yang aku takutkan justru jika tiba-tiba anjing gila melintas dari depanku atau dari sisi manapun. Ingatanku jauh menerobos lebatnya hutan ke masa lalu. Waktu itu ketika hendak menikmati ramainya pasar malam aku dihadapkan anjing di depanku persis. Awalnya tak takut sama sekali, dengan santai aku melangkahkan kaki kecilku. Ketika sampai disamping anjing tersebut tiba-tiba saja

“Guk,guk!,” anjing tersebut  menggigit celanaku, reflek aku langsung melompat dan lari sejauh mungkin agar tidak menjadi sasaran gigitan hewan omnivora tersebut. Sejak kejadian itu phobiaku sama anjing muncul.

 “Berhenti! Istirahat dulu,” teriak salah seorang  dari belakang, saat itu aku berada didepan sebagai pemimpin jalan.

Saat beristirahat tiba-tiba datang seseorang  berselimut sarung, tak begitu jelas wajahnya. Orang tersebut nampak membawa senter dan beberapa alat yang dibungkus diplastik. Ia berhenti tepat didepanku dan berkata, “Mas, nanti kalau didepan ketemu pertigaan ambil arah kiri saja ya?” ujarnya.

“Kenapa pak?” jawabku, “Kalau ke arah kanan itu ke puncak mas, lagi badai diatas, mending kekiri aja biar aman,” jawabnya.

Setelah beberapa menit istirahat, kami beranjak dan bergegas melanjutkan. Sesampainya dipertigaan kami tak mengikuti anjuran orang tadi dan memilih jalur kanan, karena sejak awal tujuan kami ke puncak Sikunir. Tak peduli badai tak peduli hujan, kami harus sampai ke puncak.

Gundukan tanah dan deretan kayu didepan kami membuat semakin bersemangat. Yess, akhirnya sampai puncak batinku sumringah. Kendati tak sepenuhnya yakin. Tapi lega rasanya, akhirnya 2350 mdpl berhasil kami taklukkan. Langit masih gelap dan telur emas masih belum siap menyambut kami. Mungkin saja masih bersiap-siap pikirku. Angin kencang dan kabut tebal menyelimuti kami, perasaan haru tak bisa kami tahan. Selang beberapa saat, rombongan kami sampai juga.

“Mas ini puncaknya?” celetuk salah seorang dari kami kepada rombongan dari Jogja.

“Bukan kayaknya, soalnya sepi gini sih,” Jawabnya santai.

Kulihat ke arah samping kiri, sorot senter dari ketinggian nampak memberi aba-aba kalau ditempat yang kami berdiri bukanlah puncak. Segera kami bergegas balik arah ke pertigaan tadi. Kami mengambil arah kiri dan melanjutkan perjalanan ke puncak sebenarnya.

Dalam suasana remang kami terus melangkah melewati jalan setapak. Samar-samar kerangka bekas rumah dan cahaya senter kian dekat. Sejurus kemudian tampak bongkahan batang kelapa yang berjejer menjadi saksi ketika kita sampai di puncak desa tertinggi di Jawa. Puncak yang terkenal dengan julukan the golden sunrise. Di puncak inilah kita dapat menyaksikan sang surya mulai menyapa bumi dengan cahaya keemasannya.

Sudah terbayang dalam benakku, di sisi kiri akan nampak gunung Sindoro dengan gagahnya dan didepanku juga akan nampak gunung Slamet, gunung tertinggi di Jawa Tengah itu pasti nampak kecil dari puncak sini. Di sebelah gunung Sindoro inilah akan nampak cahaya keemasan sang surya yang siap menerangi dunia. Disinilah puncak sebenarnya dari bukit Sikunir. Perasaan Senang, sedih, haru, sahabat, cinta akhirnya lebur dalam teriakan di ketinggian 2350 mdpl. Perjalanan selama 1,5 jam tak sia-sia.


Iki lho puncak Sikunir


Sayang hari itu cuaca tak bersahabat. Badai sejak sore belum juga reda,angin kencang sempat membuat beberapa orang serasa akan terbang. Jika angin besar datang beberapa orang berpegangan tak kuasa menahannya. Kami hanya sempat berfoto bersama dan menahan kencangnya angin pagi itu.
 
Angin dan kabut menemani kami.
this is me

Terimakasih Ibu, Bapak, Keluarga, Agrica.

Sikunir, 15 Januari 2014,

Share this:

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar