Ini bukan tentang sebuah perjalanan biasa, tapi ini perjalanan mencari arti
dari sebuah kehidupan. Tebing bebatuan nan tinggi menghadang di depan mata.
Sampai-sampai aku tak bisa menatap puncaknya. Jika ditempuh dengan berjalan,
mungkin akan memakan waktu 5 jam. Dari segi jarak jika ditarik garis horizontal
mungkin tak kurang dari 5km.
Tak tahu mengapa, tetapi langkah kakiku seakan tertarik menuju puncak
tebing itu. Awalnya tak ada tujuan apapun, hanya iseng saja. Tetapi setelah
berjalan cukup lama kaki ini tak cukup kuat untuk melanjutkan lagi. Lemas
sudah, tenagaku mulai habis. Kepala terasa pusing, perut mual. Segera saja aku
berhenti untuk sekedar meneguk air. Ah, segar sekali, aliran air itu kini
merasuk ke mulut, mebasahi setiap sel yang ada di tenggorokan. Ku teguk lagi
air itu dan semakin dalam membasahi sekujur tubuhku. Sejenak kemudian ku
rebahkan tubuhku. Ku tatap puncak tebing di atas sana. Ah masih jauh sekali,
bahkan aku tak dapat melihat ujungnya.
Angin yang membawa udara segar khas dataran tinggi membuat keringatku mulai
mengering. Dalam lamunan aku berfikir untuk mengakhiri saja perjalanan ini.
Lebih baik kembali saja menuju bawah. Dimana tidak ada tantangan dan aku bisa
bersantai tanpa menghabiskan tenagaku.
Tapi batin ini menjerit. Meronta, memukul, bahkan memecut badanku yang
lemah ini.
“Teruslah bergerak menuju ke atas, lewati jalanan terjal itu kalau tidak
mau aku bunuh tubuhmu.”
Akhirnya aku coba menuruti batinku. Selalu seperti itu, tubuhku sudah tak
kuat lagi berjalan tetapi batinku terus memaksa. Kalo tidak ku turuti bisa-bisa
aku mati di telan perasaan. Perasaan inilah manifestasi dari batinku. Tidak
dapat dipungkiri lagi perasaan akan selalu menghantuiku jika aku membangkang.
Dalam mimpi, sholat, bahkan maaf, saat membuang hajat pun perasaan tetap
menguntitku. Kendati bau toilet sangat amat menyengat, tapi perasaan tak mau
sedikitpun untuk mundur.
Aku berjalan pelan, tertatih-tatih seperti kakek yang badannya mulai
digerogoti usia. Sekalinya aku menuruti perasaan maka akan ada tambahan energi.
Seterusnya seperti itu sampai pada satu titik dimana aku dapat berdiri di
pinggir jurang. Dalam sekali sampai aku tak kuasa untuk menatap terlalu lama. Angina
bertiup sangat kencang karena sudah tidak ada lagi yang dapat menghalanginya. Aku takut jatuh di terpa
angin. Mukaku terus menghadap ke depan, tampak gugusan tebing yang terjal. Di
bawahnya tampak air yang berjalan berliku mengikuti goresan tebing, kendaraan
terlihat berjalan pelan menyusuri tiap kelokan.
Rumah-rumah bagaikan mainanku saat kecil dulu, tampak kecil. Begitu juga
dengan sawah petani. Setelah sekian menit memperhatikan kenampakan alam di
depan bola mataku aku memutuskan untuk duduk sejenak. Kaki ini sudah terasa
pegal, bagian betis serasa di remas. Aku tak sanggup berdiri lama lagi. Sembari
duduk ku edarkan pandangan mata ke semua penjuru. Semua tampak hijau, seperti
karpet yang sedang di gelar. Dari atas tebing berbatu ini aku serasa kecil
sekali jika dibandingkan dengan hamparan permukaan bumi yang maha luas. Tebing
terjal mengajarkanku akan arti
ketegaran, akan arti perjuangan.
Di puncak tebing ini ku ikrarkan untuk selalu menuruti perasaan yang akan
membawaku ke puncak. Tak peduli tubuh ini tak berdaya. Selama masih ada batin
yang meronta, memukul dan mencambukku.
Aku tak akan berhenti mengejar impian. Untuk mendapatkannya terkadang
membutuhkan jalan yang terjal dan menghabiskan tenaga yang ekstra. Tapi jika kita
sudah berada di puncaknya kita akan tertegun betapa kecilnya manusia ini.
Catatan malamku bersama segenap perasaan, cinta dan harapan akan
kesuksesan.
Sekian.
0 komentar:
Posting Komentar