image1 image2 image3

WELCOME TO MY PERSONAL BLOG|I LOVE TO DO CREATIVE THINGS|I'M A DREAMER

TEBING




Ini bukan tentang sebuah perjalanan biasa, tapi ini perjalanan mencari arti dari sebuah kehidupan. Tebing bebatuan nan tinggi menghadang di depan mata. Sampai-sampai aku tak bisa menatap puncaknya. Jika ditempuh dengan berjalan, mungkin akan memakan waktu 5 jam. Dari segi jarak jika ditarik garis horizontal mungkin tak kurang dari 5km.


Tak tahu mengapa, tetapi langkah kakiku seakan tertarik menuju puncak tebing itu. Awalnya tak ada tujuan apapun, hanya iseng saja. Tetapi setelah berjalan cukup lama kaki ini tak cukup kuat untuk melanjutkan lagi. Lemas sudah, tenagaku mulai habis. Kepala terasa pusing, perut mual. Segera saja aku berhenti untuk sekedar meneguk air. Ah, segar sekali, aliran air itu kini merasuk ke mulut, mebasahi setiap sel yang ada di tenggorokan. Ku teguk lagi air itu dan semakin dalam membasahi sekujur tubuhku. Sejenak kemudian ku rebahkan tubuhku. Ku tatap puncak tebing di atas sana. Ah masih jauh sekali, bahkan aku tak dapat melihat ujungnya.

Angin yang membawa udara segar khas dataran tinggi membuat keringatku mulai mengering. Dalam lamunan aku berfikir untuk mengakhiri saja perjalanan ini. Lebih baik kembali saja menuju bawah. Dimana tidak ada tantangan dan aku bisa bersantai tanpa menghabiskan tenagaku.

Tapi batin ini menjerit. Meronta, memukul, bahkan memecut badanku yang lemah ini. 

“Teruslah bergerak menuju ke atas, lewati jalanan terjal itu kalau tidak mau aku bunuh tubuhmu.”

Akhirnya aku coba menuruti batinku. Selalu seperti itu, tubuhku sudah tak kuat lagi berjalan tetapi batinku terus memaksa. Kalo tidak ku turuti bisa-bisa aku mati di telan perasaan. Perasaan inilah manifestasi dari batinku. Tidak dapat dipungkiri lagi perasaan akan selalu menghantuiku jika aku membangkang. Dalam mimpi, sholat, bahkan maaf, saat membuang hajat pun perasaan tetap menguntitku. Kendati bau toilet sangat amat menyengat, tapi perasaan tak mau sedikitpun untuk mundur.

Aku berjalan pelan, tertatih-tatih seperti kakek yang badannya mulai digerogoti usia. Sekalinya aku menuruti perasaan maka akan ada tambahan energi. Seterusnya seperti itu sampai pada satu titik dimana aku dapat berdiri di pinggir jurang. Dalam sekali sampai aku tak kuasa untuk menatap terlalu lama. Angina bertiup sangat kencang karena sudah tidak ada lagi yang dapat  menghalanginya. Aku takut jatuh di terpa angin. Mukaku terus menghadap ke depan, tampak gugusan tebing yang terjal. Di bawahnya tampak air yang berjalan berliku mengikuti goresan tebing, kendaraan terlihat berjalan pelan menyusuri tiap kelokan.

Rumah-rumah bagaikan mainanku saat kecil dulu, tampak kecil. Begitu juga dengan sawah petani. Setelah sekian menit memperhatikan kenampakan alam di depan bola mataku aku memutuskan untuk duduk sejenak. Kaki ini sudah terasa pegal, bagian betis serasa di remas. Aku tak sanggup berdiri lama lagi. Sembari duduk ku edarkan pandangan mata ke semua penjuru. Semua tampak hijau, seperti karpet yang sedang di gelar. Dari atas tebing berbatu ini aku serasa kecil sekali jika dibandingkan dengan hamparan permukaan bumi yang maha luas. Tebing terjal mengajarkanku akan arti ketegaran, akan arti perjuangan.

Di puncak tebing ini ku ikrarkan untuk selalu menuruti perasaan yang akan membawaku ke puncak. Tak peduli tubuh ini tak berdaya. Selama masih ada batin yang meronta,  memukul dan mencambukku. Aku tak akan berhenti mengejar impian. Untuk mendapatkannya terkadang membutuhkan jalan yang terjal dan menghabiskan tenaga yang ekstra. Tapi jika kita sudah berada di puncaknya kita akan tertegun betapa kecilnya manusia ini.

Catatan malamku bersama segenap perasaan, cinta dan harapan akan kesuksesan.
Sekian.

Share this:

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar