Di sudut ruangan ini aku menyendiri. Memadu kasih dengan angan-angan dan
bayanganmu. Ruangan ini berbentuk persegi panjang dengan atap gugusan awan.
Terkadang diselingi burung yang sedang berjuang keras demi memenuhi kehidupan
keluarganya. Di sudut ini aku melihat rombongan semut bergotong-royong membawa
makanan ke dalam sarangnya. Makanan yang besarnya limapuluh kali lipat bobot
tubuhnya hanya diangkut oleh lima ekor saja. Betapa mulia hati mereka, rela
berkorban demi rombongannya. Realita yang sama sering terlihat di depan mataku.
Ketika hanya segelintir orang saja yang rela memperjuangkan kebutuhan
kelompoknya.
Ku lihat tembok di depanku berwarna putih. Pada segenap bagiannya mulai
ditumbuhi lumut-lumut, tembok itu seakan tak ada lagi yang memperdulikannya.
Putihnya kini tergantikan oleh goresan dan mozaik warna hijau dipadu kuning
karat. Sekilas tampak indah, setidaknya dari kaca mata orang awam yang tak
terlalu mengerti detail tentang seni gambar. Mereka berbeda tapi tidak saling
bertengkar. Warna putih ikhlas dengan lumut dan karat yang berdiri diatasnya.
Warna putih ingin berbagi kehidupan juga dengan mereka. Mereka yang
kehadirannya tak pernah diinginkan di tembok lainnya. Putih bukan hanya berarti
suci tapi putih juga dapat berarti ikhlas, ikhlas menerima segala coretan yang
siap mencoreng keindahannya.
Aku semakin larut dalam lamunan, ku rebahkan tubuh dan ku tempelkan
punggung dan kepalaku ke tembok. Aduhai enak sekali, di sela-sela kesibukanku
dan segudang aktivitas yang menguras pikiran dan tenaga masih ada tempat untuk
bersandar. Ketika teman tak lagi dapat menjadi tempat bersandar aku pasti
dating ke tempat ini. Ke sudut ruangan ini. Sudut dimana terdapat tembok yang
dapat aku jadikan bersandar. Disini aku dapat merenung dan introspeksi diri
sejauh mana aku sudah melangkah. Dan aku selalu membayangkan seandainya disini
ada kamu, iya kamu pasti akan aku ceritakan kala tembok ini berucap mesra
kepadaku.
Suatu kali ketika suasana hati sedang remuk, segala usahaku tak pernah
membuahkan hasil dan sering dicemooh orang lain.
“Buat apa kamu usaha seperti itu, toh hasilnya tetep sama saja.” Ucapan
temanku kadang seketika terdengar, aku hanya bias meringis tak mampu menjawab.
Karena itulah kenyataannya, usahaku tak membuahkan hasil.
“Cobalah kau lihat betapa tegarnya aku, hujan, panas, badai, angina
selalu menghampiriku kapanpun mereka mau.” Suara itu muncul dari dalam tembok,
aku terhentak, penasaran mencari arah datangnya suara.
“Hei, siapa yang berbicara?” teriakku. Suasana sejenak diam, tak ada tanda-tanda
orang disini.
“Aku yang selama ini menjadi tempatmu bersandar.” Suara tak bertuan
kembali muncul.
Aku tak lagi bertanya, sudah pasti aku tahu jawabannya. Karena tembok
inilah yang selama ini menjadi tempatku bersandar. Tak ada yang lain. Sejenak aku
mengingat kalimat yang dilontarkan tembok tadi. Betapa lemahnya aku saat ini,
baru diterpa sedikit masalah saja sudah ingin menyerah. Aku hanya bisa
membatin, terimakasih sahabatku telah menyadarkanku. Tetaplah menjadi tempatku
bersandar sampai ajalku menjemput. Dengan langkah gontai aku berjalan menyusuri
senja di kotaku. Ku tinggalkan tembok sandaranku untk kembali ke rumah. Disana
keluarga sudah menantiku.
Ketegaran akan selalu hadir ketika kamu dirundung masalah. Masalah harus
dihadapi, menghindar bukan jalan yang baik. Tak ada salahnya belajar dari
tembok-tembok kehidupan yang tanpa disadari telah menasihati kita dengan sangat
arif dan bijaksana. Mereka mungkin diam tapi diam bukan berarti tak dapat
berbicara, mungkin pada suatu saat mereka akan berbicara saat dibutuhkan. Saat
semuanya terdiam tembok kehidupan akan dengan lembut berbisik untuk terus
berjuang.
Catatan malam
Ini inspiratif mas, asik. Ayo buat lagi. hehehe
BalasHapushaha siap!
BalasHapuslagi belajar ini.