“Mas, sini dulu dengerin kami main musik.” Teriakan pengamen jalanan itu menyadarkanku dari lamunan.
Sedari tadi aku berjalan tak fokus. Otakku
sedang ada pertunjukan orchestra, semua campur aduk menjadi satu. Tanpa kompromi
bersatu padu membentuk nada indah bernama masalah. Masalah yang sampai saat ini
tak kunjung reda. Mulai dari kehidupan pribadi, kehidupan sekolah, keluarga,
sahabat, sampai pada hal sepele masalah cucian yang tak kunjung ku sentuh
semuanya mengalun. Iya, cucian itu sepele tapi kalau tidak segera dikerjakan
pasti akan menumpuk.
Kata pepatah sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Analogi yang sempurna untuk menggambarkan kehidupanku. Seringkali aku menunda hal-hal sepele yang seharusnya bisa dilakukan dalam waktu cepat. Tapi justru aku menunda, jadinya ya seperti ini. Saat semua sedikit itu berkumpul, jadilah bukit.
Kata pepatah sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Analogi yang sempurna untuk menggambarkan kehidupanku. Seringkali aku menunda hal-hal sepele yang seharusnya bisa dilakukan dalam waktu cepat. Tapi justru aku menunda, jadinya ya seperti ini. Saat semua sedikit itu berkumpul, jadilah bukit.
Jalanan ramai, lalu lalang kendaraan orang
pulang kerja tak membuatku resah. Aku menikmati musik itu dengan tenang. Berdiri
di emperan trotoar, pengamen itu mulai memainkan alat musiknya. Kentongan,
kecrikan, jimbe dan cembung. Istilah cembung mungkin sulit dipahami oleh
sebagian orang. Di desaku tong besar yang berwarna biru sering disebut cembung.
Biasanya anak-anak desa memainkannya saat bulan puasa untuk membangunkan warga
sahur. Paduan musik itu semakin menerbangkanku, sejenak aku kabur dari hingar
binger orchestra
di otakku. Mendadak volume orchestra menurun sampai titik nol dan tak terdengar
lagi. Semua itu digantikan oleh pengamen jalanan yang dengan apik menyelaraskan
suara alat musiknya.
Tak semua orang menyukai musik, dalam bermusik
pun selera orang berbeda-beda. Perbedaan itu indah. Perbedaan buakn untuk
diributkan, perbedaan seharusnya menjadi khazanah kehidupan. Bayangkan saja
jika semua orang cantik, tidak ada yang jelek maka industry salon, kosmetik dan
industri yang berbau dengan merias wajah pasti tak akan laku. Bangkrut
semua,padahal itu menjadi lahan basah kehidupan sekian juta manusia. Aku tidak
sedang membicarakan cantik dari segi inner, cantik yang dimaksud adalah sesuatu
yang enak dilihat, setidaknya dari kaca mata seorang pria sepertiku. Ah, jangan
bahas kecantikan nanti aku bisa galau gara-gara masalah kecantikan, tak PD jika
harus bertatap muka dengan wanita cantik. Alamak, bagaimana pula jika di dunia
ini semua orang cantik, aku pasti tak sanggup menatap matanya. Untuk sekedar
melihat bola hitamnya saja tak berani apalagi harus bertatap muka, berpandangan
langsung dan berbicara. Aku tak bisa membayangkannya.
Masih dengan pengamen jalanan, aku
melangkahkan kaki sejenak mendekat memberikan beberapa rupiah ke kotak yang
sudah tersedia di depan pengamen tersebut. Iya, meskipun uangku tinggal sedikit
tapi masalah berbagi kepada sesame aku tak akan pernh absen. Memberi itu bukan
sekedar jumlah saja, memberi itu menyangkut keikhlasan. Orang akan lebih senang
jika pemberian apapun dalam jumlah sedikit tapi dilandasi oleh keikhlasan. Lain
halnya jika memberi dalam jumlah banyak tapi ada maunya, kita akan terkekang
oleh keinginan mendapatkan balasan.
“Jangan ada udang dibalik batu ya mas?” aku
menoleh ke belakang, ternyata suara itu berasal dari seorang anak kecil.
Seumuran anak SD mungkin, karena dari mukanya masih sangat polos dan tanpa
tedeng aling-aling menyampaikannya. Lantang dan jelas serta menusuk menuju
relung hati terdalam. Menembus segenap nafsu kesombongan dan keserakahan akan
kepentingan. Seperti caleg saja pikirku.
“Aku
tidak sedang mencari jabatan untuk memberikan uang ini dek, apalagi hanya
numpang ketenaran di depan publik.” Jawabku.
Musik itu berhenti, butir-butir keringat
membasahi baju pengamen tersebut. Sebuah perjuangan hanya untuk mencari sesuap
nasi, hanya untuk membuat istri dan anaknya tersenyum. Itulah pengamen jalanan
terkadang sering di hiraukan, di caci maki dan di acuhkan. Mereka lah pejuang
keras, mereka mandiri, mencari uang halal tanpa korupsi. Hasilnya memang tak
seberapa tapi itu sudah membuatnya puas. Pengunjung yang dari tadi
mengerumuninya perlahan memudar,mencari jalannya sendiri,kembali sibuk dengan
urusannya masing-masing. Aku pun akhirnya ikut melebur, memindahkan badan
menuju surga duniaku.
Selamat malam pengamen jalanan!
0 komentar:
Posting Komentar