image1 image2 image3

WELCOME TO MY PERSONAL BLOG|I LOVE TO DO CREATIVE THINGS|I'M A DREAMER

Senja di Titik Nol Kilometer


“Revolusi, revolusi, revolusi.”

Teriakan ratusan mahasiswa menggetarkan titik Nol Kilometer Kota Yogyakarta. Tepat di tengah perempatan mereka melakukan aksi pembakaran sejumlah atribut dan meneriakkan kata “Revolusi”. Kehadiran demonstran itu membuat mobil dan motor mengular di sepanjang jalan Malioboro. Kali ini senja hadir dengan pesona indah berbalut keriuhan. Senja memang tak bisa ditebak tapi selalu menawarkan pesona.

Polisi dengan wajah lelah, sibuk mengatur demonstran agar tetap aman. Di taruhnya kuda besi di tengah jalan pertanda pengendara motor dan mobil untuk menghindari melintasi area tersebut.  Aku datang beberapa menit sebelum aksi itu berakhir. Kepulan asap hitam yang membumbung ke udara menyambutku. Sejenak kemudian aksi itu berakhir dengan sisa pembakaran tepat di tengah perempatan yang segera dipadamkan oleh polisi, tak ada satupun mahasiswa yang bertanggungjawab membersihkannya. Iring-iringan demonstran kemudian berjalan rapi menuju pinggir jalan seberang benteng Vrederburg, dengan menggunakan tali tambang mereka membatasi diri kelompok mereka.

Saking pundi niku pak?” tanyaku kepada seorang tukang becak yang kebetulan sedang beristirahat.

Campur-campur niku mas, kulo nggih mboten ngertos,” jawabnya singkat.

Tapi aku tak yakin mereka tulus berniat akan merubah negeri ini. Negeri dengan segala macam kebejatan pejabat dan wakil rakyatnya. Coba saja kasih mereka kekuasaan kemungkinan akan terbuai dengan uang rakyat. Dan jadilah mereka tikus-tikus munafik. Di depan rakyat mereka teriak “revolusi”, tapi di belakang mereka menggerogoti aset negara. Atau tak perlu repot-repot diberi kekuasaan, lihat saja saat ujian apakah mereka mencontek atau tidak? Kalau masih mencontek ya percuma saja. Revolusi macam apa? Revolusi Tai kucing! Memperbaiki diri sendiri saja belum becus, mau merubah negara. Belum dapat kekuasaan saja sudah menyengsarakan orang lain, apalagi sudah jadi pejabat?

“Kalian teriak-teriak anti korupsi, revolusi lah tapi bikin macet jalanan, bikin kotor jalanan, nyampah aja bisanya. Makan tuh revolusi.” Teriak seseorang dengan kamera di tangannya mengalihkan perhatianku. Mungkin dia seorang wartawan atau seorang mahasiswa  yang kebetulan berkunjung ke Yogyakarta.

Ratusan wisatawan dari berbagai kota dan negara pun hanya bisa melongo melihat tingkah rombongan yang sering berjuluk agen perubahan ini. Bermacam-macam warna, suku, ras, bahasa bercampur di Titik ini. Tapi mereka tak peduli dengan ulah mahasiswa tersebut. Sebagian asyik mengutak-atik kameranya untuk mendokumentasikan perjalanan. Sore itu kamera bukan menjadi barang yang mewah, hampir setiap sudut di titik ini orang mengalungkan kameranya. Entah penduduk Indonesia semakin makmur dan sejahtera atau mereka sombong dengan kekayaan yang dimilikinya. Sehingga lebih memilih asyik bersenang-senang daripada memberikan sebagian hartanya kepada saudaranya yang terkena musibah.

Aku melangkahkan kaki menyusuri titik itu, pernak-pernik accesoris khas Yogyakarta dijajakan  di pinggir jalan. “Ini surganya bagi pelancong,” aku berkata lirih. Tak mau kalah dengan pedagang accesoris, para seniman pun ramai menyajikan hiburan di pinggiran jalan. Ada jasa melukis wajah dengan pensil dan kertas siluet. Ada juga orang yang merelakan wajahnya bermake-up hantu untuk melayani syahwat pengunjung akan foto narsis. Yang menarik masih ada jasa peramal di titik ini, wajahnya nampak tua sekali. Dengan balutan baju hijau model prajurit kerajaan lelaki itu meraba-raba tangan pengungjung yang berminat untuk diramal garis hidupnya. Ia meramal melalui garis tangan. Lelaki itu tak mematok harga untuk jasanya. Ia mengatakan seikhlasnya saja kalau mau memberi uang. Jaman sudah modern, era digital semakin berkembang pesat. Masih aja ada orang yang percaya dengan takhayul.

Tiba-tiba ingatanku kembali terngiang pada tingkah laku paranormal yang mematok harga selangit dengan jaminan kekuasaan. Para pejabat atau calon wakil rakyat yang haus kekuasaan dengan segan akan memberikan uangnya demi kursi nyaman dewan yang katanya terhormat. Saat ini sedang ramai-ramainya musim kampanye. Jasa paranormal pasti laris pikirku. Lalu timbul pertanyaan kenapa para caleg itu tidak kesini saja untuk diramal oleh lelaki tua yang mamakai blangkon khas Yogya itu? Toh tarifnya lebih murah, itung-itung mengirit biaya kampanye lah. Sisa uang kampanye kan bisa untuk membangun insfrasturktur di desa-desa terbelakang.

Matahari terus melaju ke ufuk barat, langit semakin redup tapi Titik Nol tak pernah berhenti menuju Nol. Titik Nol tak pernah meredup, semakin langit meredup maka Titik Nol akan semakin terang dan indah. Titik Nol bukan gedung yang dihuni dewan yang katanya terhormat tapi sering bikin kecewa rakyat. Titik Nol selalu bergerak memberikan rezeki setiap pedagang dan seniman yang mengadu nasib disana. Rakyat bahagia disana, semua kepenatan akan sirna dengan keindahannya. Langit yang mulai gelap mengakhiri perjalananku kali ini. Aku pun bahagia ketika bayangan mata indahmu merasuk ke dalam jiwaku dan senyummu yang menyejukkan hati. Selamat tinggal Revolusi tai kucing, selamat tinggal Yogayakarta, selamat tinggal senja di Titik Nol Kilometer. Ah, Jogja memang Istimewa.

Yogyakarta, 23 Maret 2014

Share this:

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar