“Revolusi, revolusi, revolusi.”
Teriakan ratusan mahasiswa
menggetarkan titik Nol Kilometer Kota Yogyakarta. Tepat di tengah perempatan
mereka melakukan aksi pembakaran sejumlah atribut dan meneriakkan kata “Revolusi”.
Kehadiran demonstran itu membuat mobil dan motor mengular di sepanjang jalan
Malioboro. Kali ini senja hadir dengan pesona indah berbalut keriuhan. Senja memang
tak bisa ditebak tapi selalu menawarkan pesona.
Polisi dengan wajah lelah, sibuk
mengatur demonstran agar tetap aman. Di taruhnya kuda besi di tengah jalan
pertanda pengendara motor dan mobil untuk menghindari melintasi area tersebut. Aku datang beberapa menit sebelum aksi itu
berakhir. Kepulan asap hitam yang membumbung ke udara menyambutku. Sejenak kemudian
aksi itu berakhir dengan sisa pembakaran tepat di tengah perempatan yang segera
dipadamkan oleh polisi, tak ada satupun mahasiswa yang bertanggungjawab
membersihkannya. Iring-iringan demonstran kemudian berjalan rapi menuju pinggir
jalan seberang benteng Vrederburg, dengan menggunakan tali tambang mereka
membatasi diri kelompok mereka.
“Saking pundi niku pak?” tanyaku kepada seorang tukang becak yang
kebetulan sedang beristirahat.
“Campur-campur niku mas, kulo nggih mboten ngertos,” jawabnya
singkat.
Tapi aku tak yakin mereka tulus
berniat akan merubah negeri ini. Negeri dengan segala macam kebejatan pejabat
dan wakil rakyatnya. Coba saja kasih mereka kekuasaan kemungkinan akan terbuai
dengan uang rakyat. Dan jadilah mereka tikus-tikus munafik. Di depan rakyat
mereka teriak “revolusi”, tapi di belakang mereka menggerogoti aset negara. Atau
tak perlu repot-repot diberi kekuasaan, lihat saja saat ujian apakah mereka
mencontek atau tidak? Kalau masih mencontek ya percuma saja. Revolusi macam
apa? Revolusi Tai kucing! Memperbaiki diri sendiri saja belum becus, mau
merubah negara. Belum dapat kekuasaan saja sudah menyengsarakan orang lain,
apalagi sudah jadi pejabat?
“Kalian teriak-teriak anti
korupsi, revolusi lah tapi bikin macet jalanan, bikin kotor jalanan, nyampah aja
bisanya. Makan tuh revolusi.” Teriak seseorang dengan kamera di tangannya
mengalihkan perhatianku. Mungkin dia seorang wartawan atau seorang mahasiswa yang kebetulan berkunjung ke Yogyakarta.
Ratusan wisatawan dari berbagai
kota dan negara pun hanya bisa melongo melihat tingkah rombongan yang sering
berjuluk agen perubahan ini. Bermacam-macam warna, suku, ras, bahasa bercampur
di Titik ini. Tapi mereka tak peduli dengan ulah mahasiswa tersebut. Sebagian asyik
mengutak-atik kameranya untuk mendokumentasikan perjalanan. Sore itu kamera bukan
menjadi barang yang mewah, hampir setiap sudut di titik ini orang mengalungkan
kameranya. Entah penduduk Indonesia semakin makmur dan sejahtera atau mereka sombong
dengan kekayaan yang dimilikinya. Sehingga lebih memilih asyik bersenang-senang
daripada memberikan sebagian hartanya kepada saudaranya yang terkena musibah.
Aku melangkahkan kaki menyusuri
titik itu, pernak-pernik accesoris khas
Yogyakarta dijajakan di pinggir jalan. “Ini
surganya bagi pelancong,” aku berkata lirih. Tak mau kalah dengan pedagang accesoris, para seniman pun ramai
menyajikan hiburan di pinggiran jalan. Ada jasa melukis wajah dengan pensil dan
kertas siluet. Ada juga orang yang merelakan wajahnya bermake-up hantu untuk melayani syahwat pengunjung akan foto narsis. Yang
menarik masih ada jasa peramal di titik ini, wajahnya nampak tua sekali. Dengan
balutan baju hijau model prajurit kerajaan lelaki itu meraba-raba tangan
pengungjung yang berminat untuk diramal garis hidupnya. Ia meramal melalui
garis tangan. Lelaki itu tak mematok harga untuk jasanya. Ia mengatakan
seikhlasnya saja kalau mau memberi uang. Jaman sudah modern, era digital semakin
berkembang pesat. Masih aja ada orang yang percaya dengan takhayul.
Tiba-tiba ingatanku kembali
terngiang pada tingkah laku paranormal yang mematok harga selangit dengan
jaminan kekuasaan. Para pejabat atau calon wakil rakyat yang haus kekuasaan
dengan segan akan memberikan uangnya demi kursi nyaman dewan yang katanya
terhormat. Saat ini sedang ramai-ramainya musim kampanye. Jasa paranormal pasti
laris pikirku. Lalu timbul pertanyaan kenapa para caleg itu tidak kesini saja
untuk diramal oleh lelaki tua yang mamakai blangkon khas Yogya itu? Toh tarifnya
lebih murah, itung-itung mengirit biaya kampanye lah. Sisa uang kampanye kan
bisa untuk membangun insfrasturktur di desa-desa terbelakang.
Matahari terus melaju ke ufuk
barat, langit semakin redup tapi Titik Nol tak pernah berhenti menuju Nol. Titik
Nol tak pernah meredup, semakin langit meredup maka Titik Nol akan semakin
terang dan indah. Titik Nol bukan gedung yang dihuni dewan yang katanya
terhormat tapi sering bikin kecewa rakyat. Titik Nol selalu bergerak memberikan
rezeki setiap pedagang dan seniman yang mengadu nasib disana. Rakyat bahagia
disana, semua kepenatan akan sirna dengan keindahannya. Langit yang mulai gelap
mengakhiri perjalananku kali ini. Aku pun bahagia ketika bayangan mata indahmu
merasuk ke dalam jiwaku dan senyummu yang menyejukkan hati. Selamat tinggal
Revolusi tai kucing, selamat tinggal Yogayakarta, selamat tinggal senja di
Titik Nol Kilometer. Ah, Jogja memang Istimewa.
Yogyakarta, 23 Maret 2014
0 komentar:
Posting Komentar