Layaknya berwisata sudah barang pasti akan meninggalkan kesan yang dapat
di ingat setiap jengkal nafas kehidupan. Begitu juga dengan perjalananku, setelah
praktikum lapang ke suatu PT di Purwakarta, aku dan rombongan segera pulang.
Namun, di tengah perjalanan macet tak terhindarkan. Sehingga pak Supir
memutuskan untuk berhenti sejenak di kawasan Rajapolah, Tasikmalaya. Disitulah
awal kesan mendalam perjalananku terjadi.
Awan gelap masih menyelimuti langit Tasikmalaya, sang fajar belum
menampakkan wajahnya. Masih sepagi itu aku terlelap setelah lelah menghadapi
macet. Begitu merasakan hawa panas dalam bis, aku terbangun dan memutuskan
untuk keluar sejenak mencari angina sekaligus menikmati dinginnya udara pagi.
Kakiku melangkah mencari toilet di sekitar tempat pemberhentian bis kami.
Setelah mencari kudapatka petunjuk arah menuju toilet. Selesai dari toilet aku
melihat jam di masjid yang ada di sebrang toilet. Saat itu menunjukkan 3.45 WIB.
Nanggung sekali jika harus berangkat, sebentar lagi waktu subuh tiba. Akhirnaya
aku memutuskan istirahat sejenak di Masjid itu.
Sembari duduk di tepi masjid aku melihat seorang pemuda dengan pakaian
putih memakai sarung kotak-kotak dan di pundaknya diselempangkan sorban. Pemuda
itu berdiri di tengah-tengah tempat wudhu, tepatnya di tempat penitipan sepatu
dan sandal area pria. Awalnya aku biasa saja, sudah jadi kewajibannya pikirku.
Tapi setelah beberapa menit aku mengamati sungguh tergetar hati ini. Tatapan
mata pemuda itu terlihat tak terarah layaknya orang buta. Tapi aku masih belum
yakin, setelah ku amati lebih jauh lagi ternyata
benar, pemuda itu buta.
“Subhananallah.” Ucapku dalam hati.
Kekurangan bukanlah alasan untuk bermalas-malasan. Kekurangan harusnya
menjadi pemacu kita untuk berbuat lebih. Jangan pernah
memandang orang difabel sebelah mata karena mereka bisa berbuat seperti orang lain yang normal.
Pemuda buta saja sudah terbangun dengan pakaian rapi sekali di saat
pemuda lain masih terlelap. Walaupun tatapannya tak terarah tapi gerak-geriknya
tak mencerminkan sama sekali kalau dia orang buta, dia berjaga di tengah dan
sesekali memperingatkan jamaah wanita yang kebetulan wudhu di tempat pria.
“Bu, tempat wudhu wanita d belakang, ini area pria.” Tegasnya ketika ada
seorang wanita wudhu di area tempat wudhu pria.
Wanita itu dengan santai tak menghiraukan perkataan pemuda itu, dia
tetap berwudhu di tempat pria. Setelah tiga kali diperingatkan baru ibu itu
berpindah. Selang beberapa menit ada serombongan wanita dengan langkah santai
melewati lantai yang sudah bertuliskan suci, dan lagi-lagi pemuda itu dengan
sabar menasihati rombongan itu. Setelah rombongan itu lewat pemuda itu segera
mengepel lantai yang kotor akibat injakan sandal rombongan wanita itu.
Lantai kotor itu perlahan-lahan di pel, layaknya orang biasa dia
mengepel segala penjuru. Perlahan tapi pasti semua lantai yang kotor kembali
bersih. Pemuda itu kemudian kembali lagi ke tempat semula ia berdiri.
Waktu subuh menunjukkan kurang 10 menit lagi. Pemuda itu segera beranjak
dari tempat ia berdiri kemudian menyusuri lantai menuju masjid. Meraba-raba
dinding dan menuju pintu utama memasuki area imam. Sejenak kemudian ia sudah
berada di tempat imam, dia mulai menyalakan speaker yng dgunakan untuk adzan.
Aku terus memperhatikan tingkahnya. Sampai pada saat dimana ia mau menancapkan
kabel ke terminal yang sudah ada.
Dadaku berdegup kencang ketika ia kesulitan memasukkan kabel itu ke
terminal. Takut tangannya masuk ke lubang dan tersengat listrik. Dengan segera
ku langkahkan kaki dan membantu pemuda itu memasukkan kabel ke terminal. Tanpa
sengaja aku menatap wajahnya dan memegang tangannya. Halus sekali, tampak
seperti tangan wanita. Wajahnya putih bercahaya, sejuk jika dipandang.
“Terimakasih mas, emang suka susah kalo masukin kabel ini,” katanya.
“Iya, sama-sama,” jawabku.
Setelah itu segera pemuda itu mendirikan sholat sunnah sebelum subuh dan
berdoa sejenak.
“Subuhnya jam berapa mas?” tanya lelaki tua yang ada di sebelahnya.
“Jam 4.35 pak”.
“Subhanallah,” aku semakin kagum dengan pemuda itu, walaupun matanya
tidak dapat melihat tapi dia hafal betul perkiraan waktu sholat subuh. Ku lihat
ke tangannya, tak ada jam tangan. Bagaimana bisa ia melakukan hal itu sementara
matanya tidak dapat melihat?
“Oh gituu, berarti 3 menit lagi dong?” bapak tua itu bertanya lagi.
“Iya pak.”
“Boleh saya adzan mas?”
Dengan rendah hati pemuda itu menjawab, “Silahkan pak, nanti kalau sudah
masuk waktunya bapak yang adzan.” Jawabnya.
Padahal sehari-hari tugas itulah yang ia emban, tapi dengan rendah hati
ia mempersilahkan orang lain untuk mengambil alih tugasnya.
“Biasanya yang adzan siapa mas?”
“Saya pak”
“Yang jadi imam?”
“Saya juga pak,” jawabnya tegas.
Kembali aku serasa ditampar oleh pemuda itu. Aku yang masih normal tidak
ada kekurangan sedikitpun belum mampu berbuat apa-apa. Tapi, pemuda itu dengan
mata gelapnya mampu berguna bagi lingkuangan sekitar. Ia menghidupkan tempat
ibadah, memanggil jamaah untuk memenuhi panggilanNYA. Melayani jamaah dengan
ikhlas tanpa ada pamrih.
Selesai sholat subuh aku hendak mengobrol dengan pemuda itu. Tapi, apa
daya bis yang membawa kami sudah siap untuk pulang karena sudah terlalu lama
menunggu. Sebelum melangkahkan kaki menuju bis, ku sempatkan berdoa, “Allah Maha
Besar, masih ada pemuda mulia yang setia menjaga rumahMU, berikan kesehatan
untuknya Ya Rabb agar rumahMU ini tetap terjaga, Amiinn.”
0 komentar:
Posting Komentar