“ Islam datang
bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi Arab. Bukan untuk aku jadi ana,
sampeyan jadi antum, sedulur jadi akhi. Kita pertahankan milik kita, kita harus
serap ajarannya tapi bukan budaya Arabnya.”
(Gus Dur)
Penggalan kalimat Bapak Pluralisme dan
Multikulturalisme, Gus Dur, menyadarkan
kita bahwa bangsa Indonesia harus tetap
menjaga dan melestarikan budayanya. Masuknya budaya luar tidak seyogyanya
mengubah budaya asli bangsa Indonesia.
Indonesia memiliki kebudayaan yang sangat beragam, dari tarian, rumah adat, etnik, bahasa, agama, ideologi, suku, lagu-lagu daerah, dan permainan tradisional. Keanekaragaman kebudayaan tersebut diikat oleh satu semboyan “Bhineka Tunggal Ika” (yang artinya walau berbeda-beda tapi tetap satu). Menurut undang-undang dasar 1945, pasal 32 sebelum diamandemen dijelaskan Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Pengertian kebudayaan nasional Indonesia ini, dijelaskan dalam penjelasan tentang undang-undang dasar negara Indonesia yaitu kebudayaan bangsa. Kebudayaan bangsa dijelaskan adalah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi-daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Di era globalisasi saat ini perkembangan teknologi dan informasi semakin pesat. Kecanggihan teknologi dapat dimanfaatkan untuk mengakses informasi dari belahan dunia manapun tanpa ada saringan yang kuat. Informasi bisa menjadi corong masuknya berbagai budaya dari daerah maupun dari luar negeri. Pola pikir sebagian orang pun akan berubah. Interaksi antar manusia dari berbagai negara melalui berbagai media dapat dilakukan dengan mudah. Batas-batas negara menjadi semu, akses ke semua negara dapat dilakukan. Begitu juga dengan budayanya.
Perkembangan teknologi telah memunculkan perilaku buruk diantaranya perilaku konsumtif, merebaknya pornografi di kalangan remaja, berkurangnya intensitas komunikasi dengan orang tua dan lain-lain. Konsumtif atau kecanduan belanja yang sifatnya impulsif atau emosional, bukan lagi rasional (Samhadi, 2006). Dahlan (dalam Sumartono, 2002) mengatakan perilaku konsumtif yang ditandai oleh adanya kehidupan mewah dan berlebihan, penggunaan segala hal yang dianggap paling mahal yang memberikan kepuasan dan kenyamanan fisik sebesar-besarnya serta adanya pola hidup manusia yang dikendalikan dan didorong oleh semua keinginan untuk memenuhi hasrat kesenangan semata-mata.
Saat ini banyak anak muda lebih memilih permainan modern seperti playstation maupun permainan games di internet dibandingkan dengan permainan tradisional khas Indonesia. Hal ini terjadi akibat kurangnya rasa memiliki dan memahami budaya bangsa kita sendiri. Mereka menganggap budaya luar negeri lebih keren dan budaya Indonesia dianggap rumit, kuno dan kaku sehingga budaya dari luar negeri segera menjamah dan mendiami jiwa penerus bangsa ini. Jarang sekali generasi muda yang mau nguri-uri budaya sehingga dikhawatirkan bila tidak diadakan regenerasi maka kedepannya generasi muda tidak mengenal lagi kebudayaan bangsa sendiri.
Kita tentu tidak dapat menyalahkan perkembangan teknologi. Anak SD pun sudah bermain gadget yang harganya mahal. Anak cenderung memanfaatkan barang yang sifatnya menyenangkan dan memanjakan. Entah kenapa teknologi selalu dikambing hitamkan dalam proses melunturnya budaya? Logikanya dunia anak adalah dunia bermain, maka tidak ada yang perlu disalahkan dengan perkembangan teknologi. Toh mereka sama-sama bermain, tetapi dengan cara yang berbeda.
Sebagaimana penggalan kalimat Gus Dur di atas. Kita serap teknologinya tetapi kita juga harus memasukkan unsur budaya kita, jangan sampai teknologi malah menghilangkan budaya asli Indonesia. Celah inilah yang seharusnya bisa dimanfaatkan dengan adanya perkembangan teknologi. Pemanfaatan teknologi seperti gadget, televisi, internet, radio dan lain-lain sebagai media pelestarian budaya seharusnya dapat dilakukan. Dewasa ini, pemuda akan lebih tertarik jika budaya disampaikan melalui cara-cara modern.
Mengemas budaya tradisonal dengan
konsep modern jauh lebih mudah diterima oleh masyarakat. Unsur rumit dan kuno
harus dihilangkan, pemanfaatan teknologi menjadi kunci eksistensi budaya di tengah
arus globalisasi. Dengan mengawinkan budaya dan teknologi saya yakin keberadaan
budaya Indonesia tidak akan pernah luntur. Contohnya program televisi wayang
kampung sebelah (WKS), program ini merupakan genre baru dalam budaya wayang.
Kita tentu tahu wayang sangat lekat
dalam khazanah budaya Indonesia. WKS berhasil mengemas budaya dalam bentuk
kritik sosial diiringi musik modern. Genre wayang baru ini menjadikan wayang
lebih komunikatif dan relatif diterima kalangan muda. Kasus lain yaitu dengan
pementasan tari yang dipadu dengan musik pop modern dapat menjadi warna baru
dalam menarik minat pemuda mempelajari budaya Indonesia. Perpaduan games virtual yang menggunakan tokoh
dalam pewayangan sebagai lakonnya juga dapat dilakukan dalam rangka mengenalkan
budaya asli bangsa Indonesia.
Disamping itu, pengenalan kebudayaan nasional kepada
generasi muda mutlak dilakukan. Mengapa harus generasi muda? Karena di tangan
merekalah tongkat estafet penerus dan pewaris kebudayaan bangsa di masa depan.
“Beri aku sepuluh pemuda yang membara cintanya kepada Tanah
Air, dan aku akan mengguncang dunia”. (Soekarno)
Kutipan dari The Founding Father of Indonesia, Ir.
Soekarno, yang seolah memberikan gambaran begitu kuat tentang sosok pemuda.
Pemuda merupakan golongan yang selalu bersikap kritis terhadap berbagai situasi
yang terjadi di masyarakat, serta golongan yang dinamis dan kaya akan
kreativitas. Selain itu, pemuda juga merupakan golongan yang nantinya akan
meneruskan arah negara Indonesia ini akan berjalan. Sejarah sesungguhnya telah
mengungkapkan satu fakta bahwa bangsa Indonesia pemuda berperan signifikan
dalam menentukan arah bangsa. Peristiwa Sumpah Pemuda, 85 tahun lalu, tepatnya
pada tanggal 28 Oktober 1928, sebagai salah satu bukti peranan pemuda yang
sangat luar biasa dalam menciptakan paradigma baru mengenai pentingnya
persatuan dan kesatuan. Momentum bersejarah tersebut merupakan tekad pemuda-pemuda
dari berbagai daerah untuk melebur menjadi satu sebagai pemuda Indonesia dengan
ikrar satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Keanekaragaman
dan keberbedaaan turun temurun inilah yang seharusnya dilestarikan dan dijaga.
Nenek moyang Indonesia telah
mengajarkan tentang proses akulturasi sejak zaman dahulu. Dalam prosesnya penyerapan
budaya dari luar ini bersifat selektif. Contoh akulturasi dalam konteks budaya
yaitu upacara sekaten, gerebeg maulid dan lain-lain. Kedua proses tersebut
merupakan contoh akulturasi kebudayaan Hindu-Islam. Terlepas dari label musyrik
atau syirik upacara tersebut menjadi teladan bagi kita sebagai rakyat Indonesia
untuk terus bersyukur atas laut dan bumi serta segala anugerah bagi Bangsa
Indonesia. Akulturasi budaya ini telah melahirkan khazanah baru dalam
kebudayaan Indonesia. Akulturasi dapat terjadi melalui serangkaian proses
diantaranya perpindahan penduduk,
revolusi dan peperangan serta pengaruh budaya lain melalui penyebaran
kebudayaan.
Proses akulturasi ini tidak selamanya berdampak positif. Ada
juga dampak buruk adanya akulturasi budaya. Predikat bangsa Indonesia yang
terkenal dengan “ketimurannya” semakin memudar. Nilai-nilai luhur bangsa
semakin meluntur . Saya masih ingat betul ketika saya masih MI atau sekolah
setingkat SD selalu diajarkan untuk mengucapkan salam, bertegur sapa dan
mencium tangan guru ketika berpapasan dimanapun tempatnya. 8 tahun berlalu
kebiasaan itu kini mulai memudar. Kini aku tengah duduk sebagai mahasiswa
semester 4 di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Jawa Tengah. Di kampus
jarang sekali bertemu mahasiswa yang masih menjaga kebiasaan baik tersebut. Lebih
banyak mahasiswa yang acuh ketika berpapasan di jalan, rata-rata hanya menunduk
saja, itupun hanya beberapa saja. Lebih banyak yang dengan membusungkan dada
ketika melewati dosen.
Budaya saling menghormati terutama
kepada yang lebih tua perlahan menghilang. Keadaan ini mulai terasa semenjak
arus budaya dari barat semakin hari semakin masuk ke Indonesia. Melalui
film-film bergenre barat. Budaya individualisme yang tinggi dan cenderung
mengacuhkan nilai sopan santun kepada orang tua inilah yang menjadi penyebab
melunturnya nilai-nilai luhur bangsa. Nilai-nilai ini menjadi penting karena
perilaku manusia akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melalui ukuran
norama agama, norma hukum, tata krama dan sopan santun, norma budaya/adat
istiadat masyarakat. Budi pekerti akan mengidentifikasi perilaku positif yang
diharapkan dapat terwujud dalam perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan,
dan kepribadian.
Menurut Suyanto (2002) salah satu upaya dalam meningkatkan
moral dan ahlak adalah melalui peran pendidikan dalam keluarga. Keluarga
memegang peranan penting dalam mengajarkan nilai-nilai kesopansantunan dan
saling menghormati sesama. Apa gunanya jika guru di sekolah mengajarkan hal-hal
yang baiak tetapi kondisi keluarga tidak mendukung contoh dan tauladan guru
akan menguap saja.
Kemungkinan anak berperilaku menyimpang dan immoral berasal
dari lingkup terkecil dalam pergaulannya yaitu keluarga. Karena pada dasarnya
individu berkembang dan belajar dimulai dari keluarga. Keluarga bisa berperan
dalam melestarikan nilai-nilai yang baik. Sosok orang tua bertanggung jawab
dalam menanamkan nilai-nilai luhur bangsa. Bagaimana orang tua mendidik anak
dalam kesehariannya akan mempengaruhi perkembangan anaknya di kemudian hari.
Cara lain yang dapat ditempuh dalam
menanamkan nilai-nilai luhur bangsa yaitu melalui karya sastra. Dengan karya
sastra masyarakat tentu akan lebih mudah memahami dalam mengenal dan memahami
budayanya. Keterbukaan informasi justru seharusnya dapat dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk menggali kearifan lokal dan dimanifestasikan dalam bentuk
karya sastra. Pengarang dapat memasukkan budaya Indonesia melalui karyanya.
Karya sastra juga berperan sebagai pendokumentasian budaya dalam bentuk
tulisan. Karya sastra yang dimaksud adalah karya sastra yang menyajikan segala
lika-liku kehidupan berbudaya di Indonesia. Budaya yang menjunjung tinggi
nilai-nilai keindonesiaan, nilai yang diangkat langsung dari kepribadian
bangsa.
Nasionalisme
Pembelajaran tentang kebudayaan
Indonesia saat ini tergolong masih sangat rendah. Pendidikan tentang kebudayaan
Indonesia saat ini hanya sejauh metode menghafalkan nama, tempat dan peristiwa
penting saja. Mengajarkan nilai
filosofis tiap budaya lebih penting dibandingkan dengan menghafalkan segala
bentuk kebudayaan Indonesia yang jumlahnya sangat banyak. Lebih baik mengetahui
satu bentuk kebudayaan tetapi memahami esensinya. Daripada hafal banyak
kebudayaan tetapi tidak mengetahui esensinya. Dengan memahami nilai filosofis
akan menumbuhkan rasa memiliki dan mencintai budaya asli Indonesia yang
termanifestasi sikap nasionalisme.
Menurut Prof.
Sartono Kartodirdjo nasionalisme merupakan pandangan tentang rasa cinta yang
wajar terhadap bangsa dan negara, dan sekaligus menghormati bangsa lain.
Nasionalisme harus ditanamkan sejak kecil bahwa Indonesia itu negara yang kaya,
negara besar. Sebagai bangsa yang besar tentu kita dengan lantang dan bangga mengakui sebagai anak Indonesia.
Sehingga walaupun ada budaya luar yang masuk ke dalam negeri tidak akan serta
merta menghilangkan budaya yang sudah ada.
Derasnya arus globalisasi bukan hanya
membawa teknologi saja. Ekonomi dunia pun berkembang. Hal ini akan mendorong
kedatangan wisatawan lokal ataupun mancanegara. Orang akan cenderung berekreasi
ke suatu tempat yang indah alamnya, tak jarang wisatawan mancanegara kemudian
menetap menjadi warga negara Indonesia. Secara tidak langsung juga membawa
budayanya agar dapat diterima di kawasan dimana ia bertempat. Munculnya koloni
etnis dan golongan tertentu yang terus menuntut pengakuan dan keinginan yang
berlebihan untuk mempertahankan identitas etnis dan agama menjadi ancaman
serius disintegrasi bangsa. Dibutuhkan kesadaran penuh tentang arti kesetaraan
dalam konteks etnis dan golongan tertentu. Sehingga lahir sikap mengahargai,
mengapresiasi dan toleransi antar sesama.
Perubahan akan selalu terjadi, tantangan
masa depan siap menghadang. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia seharusnya
dapat memanfaatkan segala perubahan yang ada untuk dijadikan sebagai khazanah
budaya yang tak ternilai harganya. Dahulu ketika
saya kecil sering mendengar lagu nenek moyang kita seorang pelaut. Pelaut
selalu berpindah-pindah pulau dan negara, badai dan ombak besar siap menerjang
kapanpun tanpa permisi. Tapi, kemanapun perginya pelaut itu tetap di dalam
dadanya tersimpan satu kata
"Indonesia". Sekalipun kita berada di luar negeri bukan berarti
keindonesiaan kita hilang. Badai globalisasi yang siap menerjang dan
memporak-porandakan budaya Indonesia harus diubah menjadi kekuatan untuk
mempertahankan budaya kita. Menyerap pengaruh positifnya dan membuang pengaruh negatifnya tanpa mengubah budaya
leluhur kita. Nasionalisme menjadi pijakan yang kuat
dalam melakukan proses perubahan ini.
Daftar
Pustaka
Dahlan, A. M. (1978). Sosialisasi pola
hidup sederhana. Majalah Prisma. 10, 11-15.
Samhadi, S. H. (2006, September 23). Dalam
cengkraman konsumtivisme. Kompas. 86, 33.
Sumartono. (2002). Terperangkap
dalam iklan. Bandung: Cv. Alfabeta.
0 komentar:
Posting Komentar